Minggu, 29 Desember 2013

Segregasi Sosial di Zaman Hindia Belanda

Tema menarik ku dapat dalam kuliah kerja lapangan akhir mei 2013 lalu;
"Kota Sebagai Cermin Dimensi Sosial, Berupa Segregasi Masyarakat Kolonial Secara Rasial".

Menarik, karena tidak hanya membahas masalah sosial, sejarahnya juga tata kota nya. Orang-orang Belanda ini membuat peraturan tentang batasan-batasan tempat tinggal.

Berawal dari kebijakan tentang otonomi daerah tertua di nusantara, Decentralisatie Wet pada tahun 1903. Program desentralisasi ini diterapkan di berbagai kota besar di Nusantara. Ku khususkan tulisan ini pada Surabaya. Ya, kota yang kemarin ku kunjungi dan ku kelilingi. Butuh 1 hari saja untuk jatuh cinta dengan kota di ujung timur pulau Jawa ini.

Tepat pada tahun 1906, program desentralisasi diterapkan di Surabaya dan memperoleh ketetapan sebagai Gemeente yang berarti kota praja. Hal ini membuat Surabaya menjadi kota yang mandiri, mengelola pemasukan dan pengeluarannya sendiri. Sebagai daerah yang sudah otonom, timbullah berbagai macam masalah di internal pemerintah. Masalah keuangan, mendera selama kebijakan ini berlaku.

Berbicara tentang tema diatas, Belanda sebagai negara penjajah membuat sekat-sekat (dalam hal tempat tinggal disini). Tujuan utamanya agar memurnikan ke-Belanda-an/ke-Eropa-an orang-orang  Londo itu. Cara seperti ini tidak hanya dilakukan di Nusantara saja. Cobalah tengok ke negara tetangga, Afrika Selatan dengan politik Apharteid yang diterapkan. Ini merupakan langkah yang ditempuh oleh bangsa barat agar semakin menegaskan perbedaan si Tuan dengan si Budak. Terlebih bentuk fisik si penjajah dengan yang di jajah biasanya memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Belanda pada masa itu masih berjumlah sedikit, hal ini menimbulkan ketakutan dikalangannya sendiri akan banyaknya jumlah pribumi dan orang timur asing yang bermukim di kota.

Kebijakan pemerintah Kolonial dengan memisahkan lingkungan tempat tinggal menimbulkan polemik. Penduduk pribumi yang kala itu memukimi pusat-pusat kota, digusur dan dipindahkan ke pinggiran kota. Mereka membentuk perkampungan-perkampungan kecil dan biasanya kumuh, jorok, dan dibangun dengan bahan-bahan bekas.

Pembagian kota dengan sederhana bisa ku gambarkan seperti ini; orang-orang Eropa berdomisili di pusat kota, bersebelahan dengan orang-orang dari Timur Asing (Cina, Arab, India) dan di pinggiran kota lah pribumi berada. Bila kita ingat tentang pelajaran Geografi di bangku sekolah, tempat pribumi berada di luar pusat kota, sekitar lingkaran ke 4 atau 5 bahkan 6. Hahaha penggambaran tanpa gambar, so ngawang-ngawang ndisik yo, le!

Di lingkungan orang-orang Eropa, berdiri bangunan-bangunan berarsitektur Eropa modern. Rumah dengan halaman yang luas, daun pintu dan jendela yang tinggi (agar memudahkan sirkulasi udara di negara tropis). Serupa halnya dengan perkantoran yang berdiri di pusat kota.

ps: jangan liat fai nya, liat bangunan di kejauhan sana

Sedangkan di daerah Timur Asing, terbagi lagi dalam beberapa daerah. Yang menonjol disini adalah Kampung Arab, dan Pecinan.Kedua daerah ini terletak tidak begitu jauh.





 
Untuk pemukiman pribumi yang katanya kumuh, jorok dan sempit, aku tidak menemukannya (karena kebetulan tidak sempat menyinggahi itu pribumi punya rumah). Cuma aku sempat ke rumah Tjokro yang terletak di gang Peneleh, letaknya di sebrang Kali Mas (egad! lupa disebelah barat, timur, utara apa mananya). Tjokro memang orang pribumi, tapi beliau bisa bertempat tinggal di pusat kota. Menurut ibu-ibu yang tinggal di gang yang sama, gang Peneleh berisi beragam etnis. "Disini ni, de rumahnya orang cina", sambil menunjuk salah satu rumah. "Ada yang dari Madura juga, ada yang dari Jawa Tengah", kurang lebih begitulah secuplik perkataan si ibu.





Gak jauh dari rumah Tjokro, ada toko buku. Toko Buku Peneleh namanya.

Kok bisa ya ada pribumi tinggal di pusat kota? Ternyata bagi para priyayi, mereka dapat tinggal di pusat kota. Dalam pribumi sendiri terbagi 2, yaitu para priyai dan arek Surabaya. Biasanya priyayi sedikit memisahkan diri dari pribumi lainnya. Sekalipun mereka tinggal di wilayah yang sama, perkampungan.

Stratifikasi sosial di Surabaya meningkat menjadi Segregasi, tingkatan yang lebih ekstrem. Pemerintah Kolonial bahkan menganggap orang-orang pribumi yang hidup di kota sebagai rakyat pedesaan. Dan pribumi, diatur dengan cara seperti itu sampai abad ke-20.

Surabaya dibawah pemerintahan Belanda, menjalankan birokrasi dengan sangat apik. Pemerintah daerah ini hanya mengurus orang-orang Eropa dan Timur jauh, sedangkan untuk pribumi diserahkan pada Inlands Gemeenten yang menjalankan pemerintahan dengan hukum tradisional. 

Ini yang lumayan menggelitik, terdapat dualisme pemerintahan dalam 1 kota. Hal ini merupakan salah satu dari kegagalan program diatas. Namun, pemerintah Kolonial berhasil menanggulanginya dengan penggabungan pemerintah desa kepada Gemeente Surabaya pada 1 Januari 1931. 

Penetapan Surabaya sebagai daerah otonom pada tahun 1906, bukanlah penyebab terjadinya segregasi sosial yang diterapkan Belanda. Segregasi ini bahkan sudah jauh diterapkan pada abad sebelumnya. Hingga timbullah berbagai macam pemberontakan, seperti pemberontakan Tionghoa yang terjadi di Batavia pada abad ke-18, juga pemberontakan-pemberontakan kecil di Surabaya. Pemberontakan ini diawali oleh arek Surabaya yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah Kolonial. Seperti halnya penggusuran secara paksa, meningkatnya pemungutan pajak, adanya ketidak samaan misi dalam mengelola perkampungan dalam kota dan lain sebagainya.

Ketidakpuasan kampung ini terkadang muncul dalam protes ledakan kekerasan, walau skalanya tidak sebesar di Batavia. Hingga pada tahun 1920-an, terdapat beberapa pemberontakkan beruntun yang juga di sponsori oleh partai politik (Sarekat Islam). 

Permainan politik cantik ini ternyata hanya bertahan sampai awal abad ke-20, mulai sadarnya para pribumi dan beberapa orang timur asing (Cina khususnya), akan ketidakadilan pemerintah Kolonial memberanikan diri untuk mendobrak tatanan yang ada. Terlebih pada masa ini gejolak pembebasan diri dari Belanda, membara seantero kota bahkan negeri. Dan rubuh ketika Jepang masuk ke Indonesia.
Kota yang diatur sedemikian rupa, berupa segregasi secara rasial merupakan buah pemikiran orang-orang Belanda akan ketakutan dan ketidaknyamanan mereka di Nusantara. Sampai pada akhirnya diberikanlah otonomi daerah agar kota dapat dikelola oleh sebuah lembaga otonom, yang juga diberikan wewenang mengelola keuangan mereka secara mandiri. Juga dengan wewenang mengatur tata kota beserta warganya.

Huah... Capek ah. Ngalor-ngidul gak karuan. Its a Wrap, fellas! Ciao. 
Doakan besok aku presentasi hoho :O

Tidak ada komentar:

Posting Komentar